Halaman

Senin, 18 Februari 2008

Lelaki yang Tak Pernah Mencaci Keledai

Ditulis Ulang dari artikel Majalah Tarbawi.

edisi 125 Th.7

Muharram 1427 H

2 februari 2006M


Muslim itu bersaudara dengan Muslim yang lain, tidak menganiaya, merendahkan, dan menghinakannya. Cukuplah keburukan bagi seseorang apabila ia menghinakan saudaranya yang Muslim” (HR Ahmad).

Lelaki itu heran, Dilihatnya orang-orang berbincang tentang banyak hal. Tetapi selalu saja sumber perbincangannya berasal dari sesosok orang khusus. Abu Juray, lelaki yang heran it u terus mencari tahu. Sipa gerangan sosok khusus itu. Tak ada pembicaraan orang, kecuali bersumber dari sosok itu.

“Siapa sosok orang ini?”tanyanya pada orang-orang.

“Dia Rasulullah.: jawab mereka.

“Alaikassalam wahai Rasulullah’gumamnya.

“Hei, jangan berkata ‘Alaikassalam, tapi Asslamualaikum. Sebab ‘alaikassalam itu ucapan untuk orang yang mati,” jawab orang-orang.

Setelah bertemu Rasulullah, Abu Juray bertanya, “Engkau Rasulullah?”

Rasul menjawab, “Aku adalah Rasul utusan Allah, Dzat yang apabila kamu terkena kesulitan, lalu kamu berdoa kepadaNya, niscaya Dia akan melepaskankesulitan itu dari kamu. Jika kamu mengalami musim kering, lalu kamu memnita kepada-Nya, niscaya Dia akan menumbuhkan tanaman untuk kamu. Jika kamu berada di tanah tak bertuan atau padang gersang, lalu binatang tungganganmu hilang, lalu kamu memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan mengembalikannya untukmu…”

Hari itu Abu Juray belajar tentang Allah SWT. Tentang betapa Maha Pengasih dan Penyayanhnya Allah, tuhan seru sekalian alam, Tampaknya ia telah mendapat jawaban atas penasarannya. Begitupun rasa herannya. Ia mendapati sosok yang dari dirinya mengalir begitu banyak nasehat,a jaran budi, pijakan perilaku, dan penuntun ke jalan yang terang. Abu Juray kemudian meminta nasehat khusus kepada Rausullah.

“Nasehari aku dengan nasehat yang mengikat.” Pintanya pada Rasulullah.

“Jangan kamu mencaci seorangpun. Janganlah kamu menghina sebentuk kebajikan apapun. Bicaramu dengan sesame saudaramu dalam keadaan wajahmu yang cerah, sungguh itu adalah sebuah kebajikan. Tinggikan bajumu, dan janagn kamu juntaikan, karena itu bagian dari kesombongan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan. Dan jika seseorang menghina kamu dan mencaci kamu dengan sesuatu yang ada apda dirimu, janganlah kamu membalas menghina dan mencacinya dengan sesuatu yang kamu tahu itu ada pad dirinya. Biarkan kesudahannya kembali pada dirinya. Dan bagimu pahalanya. Dan, jangan mencaci apapun.”

Hari-hari sesudah itu, bagi lelaki itu adalah iman, pencerahan, jalan lurus, menunaikan janji yang diminta dari Rasulullah dan perjuangan mempertahankan konsistensi. Abu Juray benar-benar mengambil jalan hidupnya yang tercerahkan. Ia menuturkan, “Sungguh, sesudah itu aku tidak pernah menghina dan mencaci seorangpun, budak maupun orang merdeka, tidak pula aku mencaci keledai maupun domba.”Di lain waktu ia berkata, “Sungguh, sesudah itu aku tidak pernah mencaci orang atau binatang.”

Pada mulanya adalah mengenal Tuhan, mengenal Allah. Sesudah itu adalah perangai, akhlak, perilaku dan segala wanti-wanti untuk tidak melukai dan menyakiti orang lain. Bahkan tidak perlu membalas cacian orang, bila pun tahu apa yang jadi celah pembalasan itu benar adanya pada orang tersebut.

Maka ini tak sekadar soal mencaci domba atau keledai. Ini adalah peta hidup seorang Mukmin, dan bagaimana ia menjalaninya. Bahwa mengenal Allah, ia memohon kepadaNya, memahmi Kuasa dan Sifat Nya, sama pentingnya dengan memahami bahwa seorang Mukmin tidak sepantasnya menjadi penyebab orang lain pedih dan getir. Disekitar tonggak pertauhidan haus dibangun fondasi sosial berbasis moral dan akhlak mulia. Ini semacam keseimbangan antara hubungan iman yang vertikal dan huubngan moral yang horizontal.

Ini tak sekadar mencaci binatang atau manusia. Alangkah besarnya perhatian Islam kepada umatnya. Ini adalah pilar-pilar besar yang di atasnya dibangun model hubungan sosial antara sesama orang-orang beriman. Seperti kata Rasulullah dalam kesempatan lain, “Orang Mukmin itu bukanlah tukang menuduh, tukang mencaci, bukan pelaku perbuatan-perbuatan keji dan hina, bukan pula sesorang yang mulutnya kotor.”

Di dalam agama yang mulia ini, moralitas yang agung tidak sekadar bagaimana seseorang Mukmin berjiwa luhur, berniat ikhlas, dan menjadi luar biasa secara diri sendiri, didalam telaga batinnya atau di samudera pikirannya saja. Akan tetapi pagar-pagar dan pengaturan lalu lintas interaksi kita dengan orang lain justru diurai dengan sangat luas, melingkupi banyak perkara, dan lebih dari itu, sangat detil. Rahasianya adalah karena kehidupan sesama manusia, bahkan sesama orang beriman sekalipun, sangat berpeluang melahirkan gesekan, konflki, perselisihan, yang bahkan bisa mengubah hidup orang lain menjadi pahit, pedih dan getir.

Singgungan hidup dimulai dari banyak pintu. Satu pintu besar diantaranya adalah cara kita berkomunikasi dengan orang lain. Bahwa segalanya bisa berubah buruk dan kacau balau hanya karena soal bicara.

Apa yang melebihi pedih dan getir yang diciptakan oleh tangan dan lisan? Adakah perhatian yang lebih detil dari penegasa Rasulullah tentang hubungan keislaman dengan tangan dan lisan? “Seorang Muslim , ialah yang orang Muslim lain selamat dari lisan dan tangannya.” Adakah yang lebih detil , dari memberi contoh bahwa sebentuk amal kebajikan, adalah engkau menuangkan air di embermu ke tempat air saudaramu?”

Akan tetapi selalua da berjuta jalan lain menuju petaka. Ada bermacam cara untuk menjadi penyebab bencana. Di rumah-rumah sunyi yang hanya ramai oleh perabotan mewah, kini banyak berkerumun jiwa-jiwa pedih dan getir. Sebab para penghuninya sepakat untuk tidak sepakat. Setia untuk tidak setia. Kesakralan atas nama tanggung jawab sudah lusuh. Tapi cinta juga sudah jadi kisah romantisme masa lalu yang telah lama basi. Yang ada hanyalah petualangan, pengabaian dan penghianatan. Lalu kesedihan diatas kesedihan.

Yang miskin dan terpuruk tak punya daya tahan untuk sekadar tidak menyimpang. Kegetiran melahirkan kegetiran lain yang beranak-anak. Kepedihannya menyemburkan kepedihan lain yang berbuntut-buntut. Benci suami anak disiksa. Benci istri anak disetrika. Benci hidup anak dibakar hidup-hidup.

Di kantor-kantor terlalu banyak para pejabat berwenang menabur kegetiran dan kepedihan . Seorang calon juru tulis ditolak jdai pegawai negeri karena tak bisa membayar uang suap 30 juta. Di hutan-hutan para pembalak kayu membunuh orang-orang dengan banjir lumpur kiriman, longsor dan gelondongan kayu yang sekali menerjang bisa puluhan nyawa melayang.

Di sekolah-sekolah, anak-anak remaja membunuh diri sendiri secara perlahan. Merka melukis masa depan di aras angan-angan, dengan coreng-moreng harga diri yang tak lagi punya bandrol. Di kampus, mahasiswa yang meras sudah dewasa membangun kegetiran dengan membuang habis rasa malu, melakukan bermacam penyimpangan dengan lebih bangga dan tanpa beban. Semua tindak tanduk itu ada tempat pengadilannya. Semua penyebab kepedihan ini akan ada perhitungannya. Kelak.

Yang lain diam dan merasa tidak masuk kubangan itu. Tapi kegetirannya adalah tumbuhan yang mandeg. Kepahiitannya adalah proses belajarnya yang berhenti. Kepedihannya adalah waktu yang habis untuk pertemanann yang hanya sebuah siklus pengaruh-mempengaruhi. Siapa yang kuat mengalahkan yang lemah. Usia terus merambat tua tanpa kunjung menambah ilmu, kesadaran dan pengetahuan.

Abu Juray telah mengambil sisi besar dalam keputusn hidupnya. Ini bukan sekadar selera pribadi, atau pilihan suka-suka. Siapapun yang sadar, bahwa tidak sepantasnya ia menjadi penyebab hidup orang lain pedih dan getir , dalam bentuk apapun, sejujurnya ia telah menajaga keharmonisan hidup ini. Sebab sumber-sumber penyebab orang lain pedih dan getir , adalah salah satu bara di antara berjuta bara api yang siap membakar kehidupan kemanusiaan.

Nilai-nilai estetis dan keluhuran, adalah satu cabang penting dari misi kenabian. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia,” kata Rasulullah. Tak berlebihan bila ia memberi janji. “Orang yang paling dekat kedudukannya dengan aku di surga, adalah yang paling baik akhlaknya.”

Bika fikih member batasan legalitas, maka akhlak dan moralitas member bobot yang luar biasa pada seni keindahan dalam hidup. Ada batasan wajib yang sah dan legal secara minimal, tapi ada pesona sunnah yang mempercantik dan membuatnya lebih berwarna. Seperti itulah ajaran agama ini. Seperti itu pula pilihan hidup ini.

Layaknya menahan marah, padahal bisa dan berhak menumpahkannya, begitu pula soal menahan diri untuk tidak menjadi penyebab orang lain pedih dan getir. Tidak saja untuk sebuah konsistensi di atas jalan yang ditetapkan, tapi juga sebentuk seni memperindah kehidupan dan merajut kebersamaan , dengan pengharapan akan pahala di sisi Allah SWT.

Ini semua pilihan kehormatan. Sekumpulan nilai-nilai dalam rasa keberartian kita bagi diri sendiri dan sesama. Sulit. Memang. Tapi menyuburkan keluhuran jiwa dan memperkaya kebaikan hati, selalu menghadapi godaan paling besar:diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar