Halaman

Kamis, 22 November 2007

Sobat, jangan kau daki bukit ini, semuanya semu


Kawan, mengapa kau tidak mau mendengarkan ceritaku? Kalaulah kita ini pendaki gunung, kau tahu aku sudah sampai di puncak lebih dahulu, jauh lebih lama dibandingkan dengan dirimu. Ketika aku katakan bahwa pemandangan di sini tidak lah seindah yang kau bayangkan, mengapa kau tak percaya? Dan ketika aku memintamu untuk kembali dan jangan mengikutiku, malah kau caci aku dengan kata - kata pedasmu. Selagi kau masih jauh di kaki bukit itu, cobalah kembali . Kembali kapada keindahan dan kehangatan di rumahmu.

Aku sudah merasakan bagaimana tidak nyamannya udara di sini, dan aku berharap kau tidak menghirup udara yang sama. Mungkin kau anggap udara di sini tidaklah terlalu membahayakan, masih bisa kita nikmati sambil tertawa dan bercanda. Tidak! sekali - kali tidak! aku serius kali ini, aku tidak ingin kau menyesal, sebagaimana aku rasakan.

Mengapa kau ikut - ikutan bebal seperti diriku dahulu? Tidak cukupkah diriku sebagai contoh? Egomu sama sepeti egoku dulu, ingin berusaha mendaki bukit ini, merasakan petualangan yang menantang adrenalin dan mencapai puncak yang kita inginkan. Pemandangan di kiri - kanan memang terlihat indah dan menggoda. Tapi sobat, pemandangan itu hanyalah fatamorgana. Semua itu palsu dan semu. Kita mendaki bukit ini karena merasa itu adalah hal yang bisa kita lakukan. Kau tahu, ketika kita merasa lebih dari orang lain dan ego itu menutupi akal sehat kita, maka tunggulah kejatuhan ke lembah nista yang sangat memalukan. Memalukan bukan hanya diri ini, namun malu yang dirasakan seluruh keluarga kita. Begitu memalukan, sehingga malu untuk berjalan di keramaian.

Sobat, aku sudah mengatakan seluruh yang ku rasakan, Menceritakan apa yang telah aku alami. Ambillah waktu istirahat dan diamlah beberapa saat di kaki bukit itu, pikirkan kembali apa yang telah kita lalui. Dan aku berharap, keputusan yang kau ambil tidaklah berbuah penyesalan di kemudian hari. Aku tidak ingin mengatakan " apa kubilang ! aku khan dulu sudah bilang itu! dasar kamu saja yang ngak percaya!"

Sobat ! untuk kali terakhir, kembalilah, jangan kau daki bukit ini !

Untuk seorang sahabat, terimakasih sharingnya. Tetap berjuang bro ! aku hanya bisa bantu doa.

2 komentar:

  1. Wah ini berlawanan dengan spiritnya Pak Adib Munajib, yang menganjurkan kita untuk selalu menyanyikan lagu "Naik-naik ke puncak gunung"

    Mungkin filosofinya Pak Yogi dalam mengejar kehidupan seperti burung ya pak ? "Kepakkan Sayap, Kejarlah Takdir"

    Mohon saya di-'share' maknanya pak...

    Wasalam

    Sony

    BalasHapus
  2. Postingan ini sebetulnya curhat dari temen, yg ngak ingin temen lainya mengikuti "jejak" dia, karena yg dia dapatkan hanyalah penyesalan dan kepedihan. Saya ngak berani tulis blak - blkana, karena bayak pihak yang terkait di dalamnya pak Sonny heheheh.. Kalau untuk "kepakkan sayap kejarlah takdir", karena saya yakin, bahwa takdir seseorang musti di kejar. Apapun yang kita inginkan, insya Allah bisa menjadi takdir kita. Takdir menurut saya, bukan sesuatu yang hanya bisa ditunggu, namun harus di kejar, sebagaimana kita memilih belok, bisa ke kiri atau ke kanan, terserah keiginan kita. Dan pilihan kita pada akhirnya menentukan takdir kita. Namun,kalau memang hasil akhir nya tidak sesuai keinginan, its oke, karena tugas kita hanyalah berusaha.hehehe. Maaf kalau kurang berkenan dan penjelasannya kurang bagus tatabahasanya

    BalasHapus